Rabu, 22 Oktober 2014

Not A Bad Thing - Justin Timberlake

Said all I want from you is to see you tomorrow
And every tomorrow, maybe you’ll let me borrow your heart
And is it too much to ask for every Sunday
If I were radical and every other day to start

I know people make promises all the time
Then they turn right around and break them
When someone cuts your heart open with a knife, while you beating
But I could be that guy to heal it over time
And I won’t stop until you believe it
Cause baby you’re worth it

So don't act like it’s a bad thing to fall in love with me
Cause you might f*ck around and find your dreams come true, with me
Spend all that time and money just find out my love was free
So don't act like it’s a bad thing to fall in love with me, me
It’s not a bad thing to fall in love with me, me

Now how about I’d be the last voice you hear at night?
And every other night for the rest of the nights that there are
Every morning I just wanna see you staring back at me
'Cause I know that’s a good place to start

I know people make promises all the time
Then they turn right around and break them
When someone cuts your heart open with a knife, while you beating
But I could be that guy to heal it over time
And I won’t stop until you believe it
Cause baby you’re worth it

So don't act like it’s a bad thing to fall in love with me
Cause you might f*ck around and find your dreams come true, with me
Spend all that time and money just find out my love was free
So don't act like it’s a bad thing to fall in love with me, me
It’s not a bad thing to fall in love with me, me
It’s not a bad thing to fall in love with me, me
No such a bad thing to fall in love with me

No I won’t feel your mind, broken promises, and waste of time
And if you fall, you’ll always land right in these arms
These arms of mine

So don't act like it’s a bad thing to fall in love with me
Cause you might f*ck around and find your dreams come true, with me
Spend all that time and money just find out my love was free
So don't act like it’s a bad thing to fall in love with me, me
It’s not a bad thing to fall in love with me, me
Not such a bad thing to fall in love with me

Senin, 20 Oktober 2014

Jual Beli Dalam Islam

1. Pengertian Jual Beli

Jual beli menurut bahasa artinya pertukaran atau saling menukar.

Sedangkan menurut pengertian fiqih, jual beli adalah menukar suatu barang dengan barang yang lain  dengan rukun dan syarat tertentu.

Jual beli juga dapat diartikan menukar uang dengan barang yang diinginkan sesuai dengan rukun dan syarat tertentu. Setelah jual beli dilakukan secara sah, barang yang dijual menjadi milik pembeli sedangkan uang yang dibayarkan pembeli sebagai pengganti harga barang, menjadi milik penjual.
Suatu ketika Rasulullah Muhammad SAW ditanya oleh seorang sahabat tentang pekerjaan yang paling baik. Beliau menjawab, pekerjaan terbaik adalah pekerjaan yang dilakukan dengan tangannya sendiri dan jual beli yang dilakukan dengan baik. Jual beli hendaknya dilakukan oleh pedagang yang mengerti ilmu fiqih. Hal ini untuk menghindari terjadinya penipuan dari ke dua belah pihak. Khalifah Umar bin Khattab, sangat memperhatikan jual beli yang terjadi di pasar. Beliau mengusir pedagang yang tidak memiliki pengetahuan ilmu fiqih karena takut jual beli yang dilakukan tidak sesuai dengan hukum Islam.

Pada masa sekarang, cara melakukan jual beli mengalami perkembangan. Di pasar swalayan ataupun mall, para pembeli dapat memilih dan mengambil barang yang dibutuhkan tanpa berhadapan dengan penjual. Pernyataan penjual (ijab) diwujudkan dalam daftar harga barang atau label harga pada barang yang dijual sedangkan pernyataan pembeli (kabul) berupa tindakan pembeli membayar barang-barang yang diambilnya.

2. Hukum Jual Beli

Jual beli sudah ada sejak dulu, meskipun bentuknya berbeda. Jual beli  juga dibenarkan dan berlaku sejak zaman Rasulullah Muhammad SAW sampai sekarang. Jual beli mengalami perkembangan seiring pemikiran dan pemenuhan kebutuhan manusia. Jual beli yang ada di masyarakat di antaranya adalah:
a) jual beli barter (tukar menukar barang dengan barang); b) money charger (pertukaran mata uang); c) jual beli kontan (langsung dibayar tunai); d) jual beli dengan cara mengangsur (kredit); e) jual beli dengan cara lelang (ditawarkan kepada masyarakat umum untuk mendapat harga tertinggi).
Berbagai macam bentuk jual beli tersebut harus dilakukan sesuai hukum jual beli dalam agama Islam. Hukum asal jual beli adalah mubah (boleh). Allah SWT telah menghalalkan praktik jual beli sesuai ketentuan dan syari’at-Nya. Dalam Surah al-Baqarah ayat 275 Allah SWT berfirman:

وَأَحَلَّ اللهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّﺒﯜا
Artinya :
…Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan  riba…(Q.S. al-Baqarah: 275)

Jual beli yang dilakukan tidak boleh bertentangan dengan syariat agama Islam. Prinsip jual beli dalam Islam, tidak boleh merugikan salah satu pihak, baik penjual ataupun pembeli. Jual beli harus dilakukan atas dasar suka sama suka, bukan karena paksaan.
Hal ini dijelaskan oleh Allah dalam surat an-Nisa’ ayat 29.
yang Artinya :
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan harta sesamamu  dengan jalan batil melainkan dengan jalan jual beli suka sama suka di antara kamu.” (QS. An-Nisa : 29)

Dalam sebuah hadis Rasulullah SAW bersabda:

عَنْ أَبِي سَعِيْدِ الْخُدْرِيِّ يَقُوْلُ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهَ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اِنَّمَا الْبَيْعُ عَنْ تَرَاضٍ. رواه ابن ماجه
Artinya :
Dari Abi Sa’id al-Khudri berkata, Rasulullah SAW bersabda: sesungguhnya  jual beli itu didasarkan atas saling meridai.(H.R. Ibnu Maajah).

Hukum jual beli ada 4 macam, yaitu:
(1)Mubah (boleh), merupakan hukum asal jual beli;
(2)Wajib, apabila menjual merupakan keharusan, misalnya menjual barang untuk membayar hutang;
(3)Sunah, misalnya menjual barang  kepada sahabat atau orang yang sangat memerlukan barang yang dijual;
(4)Haram, misalnya menjual barang yang dilarang untuk diperjualbelikan. Menjual barang untuk maksiat, jual beli untuk menyakiti seseorang, jual beli untuk merusak harga pasar, dan jual beli dengan tujuan merusak ketentraman masyarakat.

3.Rukun Jual Beli
Jual beli dinyatakan  sah apabila memenuhi rukun dan syarat jual beli. Rukun jual beli berarti sesuatu yang harus ada dalam jual beli. Apabila salah satu rukun jual beli tidak terpenuhi, maka jual beli tidak dapat dilakukan. Menurut sebagian besar  ulama, rukun jual beli ada empat macam, yaitu:
a)Penjual dan pembeli
b)Benda yang dijual
c)Alat tukar yang sah (uang)
d)Ijab Kabul

Ijab adalah perkataan penjual dalam menawarkan barang dagangan, misalnya: “Saya jual barang ini seharga Rp 5.000,00”.  Sedangkan kabul adalah perkataan pembeli dalam menerima jual beli, misalnya: “Saya beli barang itu seharga Rp 5.000,00”.  Imam Nawawi berpendapat, bahwa ijab dan kabul tidak harus diucapkan, tetapi menurut adat kebiasaan yang sudah berlaku. Hal ini sangat sesuai dengan transaksi jual beli yang terjadi saat ini di pasar swalayan. Pembeli cukup mengambil barang yang diperlukan kemudian dibawa ke kasir untuk dibayar.

4. Syarat sah jual beli

Jual beli dikatakan sah, apabila memenuhi syarat-syarat yang ditentukan. Persyaratan itu untuk menghindari timbulnya perselisihan antara penjual dan pembeli akibat adanya kecurangan dalam jual beli. Bentuk kecurangan dalam jual beli misalnya dengan mengurangi timbangan, mencampur barang yang berkualitas baik dengan barang yang berkualitas lebih rendah  kemudian dijual dengan harga barang yang berkualitas baik. Rasulullah Muhammad SAW melarang jual beli yang mengandung unsur tipuan. Oleh karena itu seorang pedagang dituntut untuk berlaku jujur dalam menjual dagangannya. Adapun syarat sah jual beli adalah sebagai berikut:
a)Penjual dan pembeli
(1)Jual beli dilakukan oleh orang yang berakal agar tidak tertipu dalam jual beli. Allah swt.berfirman dalam surah an-Nisaa’ ayat 5 :
وَﻻَ تُؤْ تُوْاالسُّفَهَاءَ اَمْوَالَكُمُ الَّتِى جَعَلَ اللهُ لَكُمْ قِيَمًا
Artinya:
Dan janganlah kamu serahkan kepada orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaan) kamu yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupanmu.(Q.S.an-Nisaa’:5)

(2)Jual beli dilakukan atas kemauan sendiri (tidak dipaksa). Dalam Surah an-Nisaa’ ayat 29 Allah berfirman:

يَأَيُّهَا الَّذِيْنَ ﺍٰمَنُوْاﻻَ تَأْكُلُوْا أَمْوَآلَكُمْ بَيْنَكُمْ بِا لْبَاطِلِ اِﻻﱠ أَنْ تَكُوْنَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ

Artinya:

Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil (tidak benar) kecuali dalam perdagangan yang berlaku atas dasar suka sama suka di antara kamu. (Q.S. an-Nisaa’: 29)

(3)Barang yang diperjualbelikan memiliki manfaat (tidak mubazir)
(4)Penjual dan pembeli sudah balihg atau dewasa, akan tetapi anak-anak yang belum baligh  dibolehkan melakukan jual beli untuk barang-barang yang bernilai kecil, misalnya jual beli buku dan koran.

b)Syarat uang dan barang yang dijual
(1)Keadaan barang suci atau dapat disucikan.
(2)Barang yang dijual  memiliki manfaat.
(3)Barang yang dijual adalah milik penjual atau milik orang lain yang dipercayakan kepadanya untuk dijual. Rasulullah bersabda:

ﻻَ بَيْعَ اِﻻﱠ فِيْمَا تُمْلِكُ رواه ابو داود

Artinya :
Tidak Sah jual beli kecuali pada barang yang dimiliki.(H.R. Abu Daud dari Amr bin Syu’aib)

(4)Barang yang dijual dapat diserahterimakan sehingga tidak terjadi penipuan dalam jual beli.
(5)Barang yang dijual dapat diketahui dengan jelas baik ukuran, bentuk, sifat dan bentuknya oleh penjual dan pembeli.

c)Ijab kabul
Ijab adalah pernyataan penjual barang sedangkan Kabul adalah perkataan pembeli barang. Dengan demikian, ijab kabul merupakan kesepakatan antara penjual dan pembeli atas dasar suka sama suka. Ijab dan kabul dikatakan sah apabila memenuhi syarat sebagai berikut:
(1)Kabul harus sesuai dengan ijab;
(2)Ada kesepakatan antara ijab dengan kabul pada barang yang ditentukan mengenai ukuran dan harganya;
(3)Akad tidak dikaitkan dengan sesuatu yang tidak ada hubungannya dengan akad, misalnya: “Buku ini akan saya jual kepadamu Rp 10.000,00 jika saya menemukan uang”.
(4)Akad tidak boleh berselang lama, karena hal itu masih berupa janji.

5.Membedakan jual beli yang diperbolehkan dan jual beli yang dilarang
Jual beli yang diperbolehkan dalam Islam adalah :
a. telah memenuhi rukun dan syarat dalam jual beli
b. jenis barang yang dijual halal
c. jenis barangnya suci
d. barang yang dijual memiliki manfaat
e. atas dasar suka sama suka bukan karena paksaan
f. saling menguntungkan
Adapun bentuk-bentuk jual beli yang terlarang dalam agama Islam karena merugikan masyarakat di antaranya  sebagai berikut:
a. memperjualbelikan barang-barang yang haram
b. jual beli barang untuk mengacaukan pasar
c. jual beli barang curian
d. jual beli dengan syarat tertentu
e. jual beli yang mengandung unsur tipuan
f. jual beli barang yang belum jelas misalnya menjual ikan dalam kolam
g. jual beli barang untuk ditimbun

6. Khiyar

Dalam jual beli sering terjadi penyesalan di antara penjual dan pembeli. Penyesalan  ini terjadi karena kurang hati-hati, tergesa-gesa atau sebab lainnya. Untuk menghindari penyesalan dalam jual beli, maka Islam memberikan jalan dengan khiyar. Khiyar adalah hak untuk meneruskan jual beli atau membatalkannya. Maksudnya, baik penjual atau pembeli mempunyai kesempatan untuk mengambil keputusan apakah meneruskan jual beli atau membatalkannya dalam waktu tertentu atau karena sebab tertentu. Khiyar dalam jual beli ada tiga macam yaitu:

(1)Khiyar majlis
Khiyar majlis adalah hak bagi penjual dan pembeli yang melakukan akad jual beli untuk membatalkan atau meneruskan akad jual beli selama mereka masih belum berpisah dari tempat akad. Apabila keduanya telah berpisah dari satu majlis, maka hilanglah hak khiyar majlis ini. Rasulullah SAW bersabda:

اَلْبَيِّعَانِ بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّّقَّا.  رواه البخرى
Artinya:
Dua orang yang berjual beli, boleh memilih (akan meneruskan jual beli atau tidak) selama keduanya belum berpisah dari tempat akad. (H.R. Bukhori dari Hakim bin Hizam)

(2)Khiyar syarat
Khiyar syarat adalah suatu keadaan yang membolehkan salah seorang atau masing-masing orang yang melakukan akad untuk membatalkan atau menetapkan jual belinya setelah mempertimbangkan dalam 1, 2, atau 3 hari.  Setelah waktu yang ditentukan tiba, maka jual beli harus segera ditegaskan untuk dilanjutkan atau dibatalkan. Waktu khiyar syarat selama 3 hari 3 malam terhitung waktu akad. Sabda Rasulullah Muhammad SAW:

اَنْتَ فِي كُلُّ سِلْعَةٍ اِبْتَعْتَهَا بِاِ لْخِيَارِﺛَﻼَثَ لَيَالٍ.  رواه ابن ماجه
Artinya:
Engkau boleh berkhiyar pada semua barang yang telah engkau beli selama tiga hari tiga malam.(H.R. Ibnu Majah dari Muhammah bin Yahya bin Hibban)

(3)Khiyar ‘aibi
Khiyar ‘aibi adalah hak untuk memilih meneruskan atau membatalkan jual beli karena ada cacat atau kerusakan pada barang yang tidak kelihatan pada saat ijab kabul. Pada masa sekarang, untuk memberikan pelayanan yang memuaskan kepada pembeli, para produsen dan penjual barang biasanya memberikan jaminan produk atau garansi. Pemberian garansi juga dimaksudkan untuk menghindari adanya kekecewaan pembeli terhadap barang yang dibelinya. Berkaitan dengan khiyar ‘aibi ini, Rasulullah SAW memberikan tuntunan dengan sabdanya :

عَنْ عَائِشَةُ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا اَنَّ رَﺠُﻼً اِبْتَاعَ ﻏُﻼَمًا فَاَقَامَ عِنْدَهُ مَاشَآءَ اللهُ اَنْ يُقِيْمَ ثُمَّ وَجَدَ بِهِ عَيْبًا فَخَاصَمَهُ اِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَرَدَّهُ عَلَيْهِ. رواه ابو داود
Artinya:
Dari Aisyah r.a. berkata bahwasanya seorang laki-laki telah membeli seorang budak, budak itu tinggal beberapa lama dengan dia, kemudian kedapatan bahwa budak itu ada cacatnya, terus dia angkat perkara itu dihadapan Rasulullah saw. Putusan dari beliau, budak itu dikembalikan kepada penjual (H.R. Abu Dawud)

Khiyar diperbolehkan oleh Rasulullah Muhammad SAW karena memiliki manfaat. Di antara manfaat khiyar adalah untuk menghindari adanya rasa tidak puas terhadap barang yang dibeli, menghindari penipuan, dan untuk membina ukhuwah antara penjual dan pembeli. Dengan adanya khiyar, penjual dan pembeli  merasa puas.

WADI'AH

A. PENGERTIAN WADI’AH

Kata wadi’ah berasal dari wada’asy syai-a, yaitu meninggalkan sesuatu. Sesuatu yang seseorang tinggalkan pada orang lain agar dijaga disebut wadi’ah, karena dia meninggalkannya pada orang yang sanggup menjaga. Secara harfiah, Al-wadi’ah dapat diartikan sebagai titipan murni dari satu pihak ke pihak yang lain, baik individu maupun badan hukum, yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja si penitip menghendakinya.

-Menurut bahasa wadiah artinya yaitu meninggalkan atau meletakkan. Yaitu meletakan sesuatu pada orang lain untuk dipelihara atau dijaga. Sedangkan menurut istilah wadiah artinya yaitu memberikan kekuasaan kepada orang lain untuk menjaga hartanya atau barangnya dengan secara terang-terangan atau dengan isyarat yang semakna dengan itu.

Ada dua definisi yang dikemukakan oleh ulama fiqh, yaitu :

1.Ulama madzhab Hanafi mendefinisikan :

“ mengikut sertakan orang lain dalam memelihara harta baik dengan ungkapan yang jelas maupun isyarat”

Umpamanya ada seseorang menitipkan sesuatu pada seseorang dan si penerima titipan menjawab ia atau mengangguk atau dengan diam yang berarti setuju, maka akad tersebut sah hukumnya.

2.Madzhab Hambali, Syafi’I dan Maliki ( jumhur ulama ) mendefinisikan wadi’ah sebagai berikut :

“ mewakilkan orang lain untuk memelihara harta tertentu dengan cara tertentu “

B. DASAR HUKUM WADI’AH

- Q.S. An Nisaa’(4) ayat 58:

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”

- Q.S. Al Baqarah (2) ayat 283:

“…Jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanahnya (titipannya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Tuhannya…”

- Hadist Riwayat Abu Daud dan Tirmidzi

Rasulullah Saw bersabda, “Tunaikanlah amanah (titipan) kepada yang berhak menerimanya dan jangan membalas khianat kepada orang yang telah mengkhianatimu”

C. RUKUN DAN SYARAT WADI’AH

1. Orang yang berakad

Orang yang berakad adalah muwaddi sebagai orang yang menitipkan barangnya (penitip) dan mustauda sebagai orang yang dititipi barang (penerima titipan).

Orang yang berakad hendaklah orang yang sehat (tidak gila) diantaranya yaitu:

Baligh
Berakal
Kemauan sendiri, tidak dipaksa
Dalam mazhab Hanafi baliqh dan berakal tidak dijadikan syarat dari orang yang sedang berakad, jadi anak kecil yang dizinkan oleh walinya boleh untuk melakukan akad wadi’ah ini.

2. Barang titipan

Barang yang dititipkan harus jelas dan dapat dipegang atau dikuasai, maksudnya ialah barang itu haruslah jelas identitasnya dan dapat dikuasai untuk dipelihara.

3. Sighah (akad)

Syarat sighah yaitu kedua belah pihak melafazkan akad yaitu orang yang menitipkan (muwaddi) dan orang yang diberi titipan (mustauda).

D. PEMBAGIAN DAN PENERAPAN WADI’AH

1. Wadi’ah Yad Amanah

Adalah akad penitipan barang/uang dimana pihak penerima (Mustauda) tidak diperkenankan penggunaan barang/uang dari si penitip (Muwaddi) tersebut dan tidak bertanggung jawab atas kerusakan atau kelalaian yang bukan disebabkan oleh kelalaian si penerima titipan (Mustauda). Dan sebagai gantinya si penitip (Muwaddi) wajib untuk membayar kepada orang yang dititipi (Mustauda), namun boleh juga untuk tidak membayar asalkan orang yang dititipi tidak merasa keberatan dan menganggapnya sedekah.

Contoh penerapannya dalam perbankan syariah adalah safe deposit box. Layanan Safe Deposit Box (SDB) adalah jasa penyewaan kotak penyimpanan harta atau surat-surat berharga yang dirancang secara khusus dari bahan baja dan ditempatkan dalam ruang khasanah yang kokoh dan tahan api untuk menjaga keamanan barang yang disimpan dan memberikan rasa aman bagi penggunanya.

2. Wadi’ah Yad adh Dhamanah.

Wadi’ah Yad Dhamanah adalah akad penitipan barang atau uang dimana pihak penerima titipan dengan atau tanpa izin pemilik barang dapat memanfaatkan barang atau uang yang dititipkan  dan harus bertanggungjawab  terhadap kehilangan atau kerusakan barang tersebut.

Contoh penerapannya dalam perbankan syariah adalah giro dan tabungan wadi’ah. Giro Wadi’ah adalah giro yang dijalankan berdasarkan akad wadi’ah, yakni titipan murni yang setiap saat dapat diambil jika pemiliknya menghendaki. Sarana penyimpanan dana dengan pengelolaan berdasarkan prinsip al-Wadi’ah Yad Dhomanah yang penarikannya dapat dilakukan setiap saat dengan menggunakan media cek atau bilyet giro. Dengan prinsip tersebut titipan akan dimanfaatkan dan diinvestasikan Bank secara produktif dalam bentuk pembiayaan kepada berbagai jenis usaha dari usaha kecil dan menengah sampai pada tingkat korporat secara profesional tanpa melupakan prinsip syariah. Bank menjamin keamanan dana secara utuh dan ketersediaan dana setiap saat guna membantu kelancaran transaksi.

Tabungan wadiah merupakan tabungan yang dijalankan berdasarkan akad wadiah, yakni titipan murni yang harus dijaga dan dikembalikan setiap saat sesuai dengan kehendak pemiliknya. Nasabah jika hendak mengambil simpanannya dapat datang langsung ke bank dengan membawa buku tabungan, slip penarikan, atau melalui fasilitas ATM.

MUDHARABAH & MUSYARAKAH

-Mudharabah adalah bentuk kerja sama antara dua atau lebih pihak di mana pemilik modal (shahibul amal) mempercayakan sejumlah modal kepada pengelola (mudharib) dengan suatu perjanjian di awal. Bentuk ini menegaskan kerja sama dengan kontribusi seratus persen modal dari pemilik modal dan keahlian dari pengelola.

Transaksi jenis ini tidak mewajibkan adanya wakil dari shahibul maal dalam manajemen proyek. Sebagai orang kepercayaan, mudharib harus bertindak hati-hati dan bertanggung jawab atas kerugian yang terjadi akibat kelalaian dan tujuan penggunaan modal untuk usaha halal. Sedangkan, shahibul maal diharapkan untuk mengelola modal dengan cara tertentu untuk menciptakan laba yang optimal.

Tipe mudharabah

Mudharabah Mutlaqah: Dimana shahibul maal memberikan keleluasaan penuh kepada pengelola (mudharib) untuk mempergunakan dana tersebut dalam usaha yang dianggapnya baik dan menguntungkan. Namun pengelola tetap bertanggung jawab untuk melakukan pengelolaan sesuai dengan praktik kebiasaan usaha normal yang sehat (uruf)

Mudharabah Muqayyadah: Dimana pemilik dana menentukan syarat dan pembatasan kepada pengelola dalam penggunaan dana tersebut dengan jangka waktu, tempat, jenis usaha dan sebagainya
Feature Mudharabah
1. Berdasarkan prinsip berbagi hasil dan berbagi risiko

Keuntungan dibagi berdasarkan nisbah yang telah disepakati sebelumnya
Kerugian finansial menjadi beban pemilik dana sedangkan pengelola tidak memperoleh imbalan atas usaha yang telah dilakukan.
2. Pemilik dana tidak diperbolehkan mencampuri pengelolaan bisnis sehari-hari

-Musyarakah (syirkah atau syarikah atau serikat atau kongsi) adalah bentuk umum dari usaha bagi hasil di mana dua orang atau lebih menyumbangkan pembiayaan dan manajemen usaha, dengan proporsi bisa sama atau tidak. Keuntungan dibagi sesuai kesepakatan antara para mitra, dan kerugian akan dibagikan menurut proporsi modal. Transaksi Musyarakah dilandasi adanya keinginan para pihak yang bekerja sama untuk meningkatkan nilai asset yang mereka miliki secara bersama-sama dengan memadukan seluruh sumber daya.

Ketentuannya, antara lain :

Pernyataan ijab dan kabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk menunjukkan kehendak mereka dalam mengadakan kontrak (akad).
Pihak-pihak yang berkontrak harus sadar hukum, dan memperhatikan hal-hal berikut :

Setiap mitra harus menyediakan dana dan pekerjaan.
Setiap mitra memiliki hak umtuk mengatur aset musyarakah dalam proses bisnis normal.

Setiap mitra memberi wewenang kepada mitra yang lain untuk mengelola aset dan masing-masing dianggap telah diberi wewenang untuk melakukan aktivitas musyarakah dengan memperhatikan kepentingan mitranya, tanpa melakukan kelalaian yang disengaja.
seorang mitra tidak diizinkan untuk mencairkan dana atau menginvestasikan dana untuk kepentingannya sendiri.
Objek akad adalah modal, kerja, keuntungan dan kerugian.

Pembagian Riba

Secara garis besar, riba dikelompokan menkadi 2 (dua) masing-masing adalah riba utang piutang dan riba jual-beli. Kelompok pertama terbagi lagi menjadi riba qardh dan riba jahiliyyah. Adapun kelompok kedua, riba jual-beli, terbagi menjadi riba fadhl dan riba nasi’ah.

1) Riba Qardh
Adalah praktek riba dengan cara meminjamkan uang kepada seseorang dengan syarat ada kelebihan atau keuntungan bagi pemberi utang.

2) Riba Jahiliyyah
Adalah utang di bayar lebih dari pokoknya karena sipeminjam tidak mampu membayar ytangnya pada waktu yang telah ditentukan

3) Riba Fadhl
Adalah pertukaran antar barang sejenis dengan kadar atau takaran yang berbeda, sedangkan barang yang dipertukarkan itu termasuk dalam jenis barang ribawi.

4) Riba Nasi’ah
Adalah penangguhan penyerahan atau penerimaan barang ribawi yang di pertukarkan dengan jenis barang ribawi lainya. Riba dalam nasi’ah muncul karena adanya perbedaan, perubahan, atau tambahan antara yang diserahkan saat ini dan yang diserahkan kemudian.
Mengenai pembagian dan jenis-jenis riba, berkata imam ibnu hajar al-Haitsami “bahwa riba itu terdiri dari tiga jenis yaitu riba fadhl, riba yaad, dan riba nasi’ah. Al-muttawally menambahkan jenis keempat yaitu riba qardh. Beliau juga menyatakan bahwa semua jenis ini diharamkan secara ijma berdasarkan nash Al-Qur’an dan Hadis Nabi

Kamis, 16 Oktober 2014

MORAL DAN PERILAKU EKONOMI

Perangkat nilai dasar adalah impilakasi dari asas filsafat sistem yang dijadikan sebagai kerangka konstruksi sosial dan tingkah laku dari sebuah sistem, yaitu tentang organisasi kepemilikan, pembatasan tingkah laku individual, dan norma tingkah laku dari para pelaku ekonomi.

Dalam kapitalisme yang menganut azas laissez faire hak kepemilikan perorangan adalah absolut dan tanpa batas, terjaminnya kebebasan memasuki segala macam kegiatan ekonomi dan transaksi menurut persaingan bebas, dan norma-norma individual yang ditarik dari individualisme dan utilitarianisme dimana tiap komoditas dianggap baik secara moral dan ekonomi sepanjang dapat dijual dan menghasilkan keuntungan.

Dalam marxisme hak milik hanya untuk kaum proletar yang diwakili oleh kaum diktator, distribusi faktor-faktor produksi harus ditetapkan oleh negara.Sistem ekonomi Islam berangkat dari kesadaran tentang etika. hal inilah yang membedakan dari sistem ekonomi lain, seperti kapitalisme dan sosialisme, cendrung mengabaikan etika sehingga aspek nilai tidak begitu nampak.

Nilai dan akhlak dalam muamalah dan ekonomi Islam berpijak pada empat nilai berikut, yaitu:
Rabbaniyah (ketuhanan),Akhlaq, kemanusian, dan pertengahan. Nilai-nilai merupakan ciri khas yang melekat di dalam ekonomi Islam.  Turunan dari nilai-nilai tersebut memiliki dampak bagi seluruh segi ekonomi dan muamalah Islam yang mencakup harta, produksi, konsumsi dan distribusi.
Raafik Isaa Beekun dalam bukunya yang berjudul Islamic Bussines Ethics menyebutkan paling tidak ada sejumlah parameter kunci sistem etika Islam. Menurutnya,     berbagai tindakan ataupun keputusan disebut etis bergantung pada niat individu yang  melakukannya. Allah Maha Kuasa mengetahui apapun niat kita sepenuhnya secara sempurna. Niat baik yang diikuti tindakan yang baik akan dihitung sebagai ibadah.  Niat yang halal tidak dapat mengubah tindakan haram menjadi halal. Islam memberikan kebebasan kepada individu untuk percaya dan bertindak berdasarkan apapun keinginannya, namun tidak dalam hal tanggung jawab dan keadilan. Percayakan kepadaAllah SWT memberi individu kebebasan sepenuhnya dari hal apapun atau siapapun kecuali Allah. Keputusan yang menguntungkan kelompok mayoritas ataupun minoritas secara langsung bersifat etis dalam dirinya, etis bukanlah permainan mengenai jumlah.

Islam mempergunakan pendekatan terbuka terhadap etika, bukan sebagai sistem yang tertutup, dan berorientasi diri sendiri. Egoisme tidak mendapat tempat dalam ajaran Islam. Keputusan etis harus didasarkan pada pembacaan secara bersama-sama antara Al-Qur’an dan alam semesta.Tidak seperti sistem etika yang diyakini banyak agama lain, Islam mendorong umat manusia untuk melaksanakan tazkiyah melalui partisipasi aktif dalam kehidupan ini. Dengan berperilaku secara etis di tengah godaan ujian dunia, kaum Muslim harus mampu membuktikan ketaatannya kepada Allah SWT.Nilai-nilai, etika dan moral Islam sebagai implikasi dari asas Tauhid, khilafah , dan keadilan, dimana setiap individu perlu berperilaku sesuai dengan ajaran Islam atau mewujudkan perilaku homo islamicus.

Artinya moral (akhlak) menjadi pegangan pokok dalam menentukan apakah suatu perbuatan itu baik atau buruk. Moralitas Islam dibangun di atas postulat keimanan (rukun iman) dan postulat ibadah. Kepercayaan kepada Allah merupakan intisari dari keimanan dan mendasari semua rukun iman. Esensi keimanan kepada Allah adalah tauhid, yaitu pengakuan bahwa Allah adalah satu-satunya sumber sekaligus tujuan dari seluruh kehidupan. Implikasi dari tauhid dalam ekonomi Islam memiliki sifat-sifat transendental. Implementasi nilai, etika dan moral ekonomi Islam  adalah sebagai berikut:

Konsep Kepemilikan Pemilikan dalam Islam terletak pada pemilikan kemanfaatannya dan bukan menguasai secara mutlak terhadap sumber-sumber ekonomi. Seorang muslim yang tidak memproduksi manfaat dari sumber daya yang diamanatkan oleh Allah SWT padanya akan kehilangan hak atas sumber tersebut, seperti hak atas pemilikan tanah atau lahan.

Hadits Nabi Muhammad

SAW:”Barangsiapa menghidupkan sebidang tanah mati, maka tanah itu menjadi miliknya. Dan tidak berhak memilikinya orang yang sekedar memagarinya dengan tembok setelah tiga tahun.”Al-Qur’an dalam berbagai ayatnya menegaskan bahwa kekayaan dan kemakmuran merupakan karunia Allah SWT. Pemilikan yang bersifat perorangan juga tidak dibolehkan atas sumber-sumber ekonomi yang menyangkut kepentingan umum atau menjadi hajat orang banyak. Sumber-sumber tersebut menjadi milik umum atau negara.

Dalam hadist nabi dikatakan;”Semua orang Islam berserikat dalam tiga hal: dalam hal air, rumput api, dan garam.”(HR. Abu daud dan Ahmad).Hadist tersebut juga dikaitkan dengan empat macam barang tambang seperti minyak bumi, serta barang kebutuhan pokok kehidupan manusia pada waktu dan kondisi tertentu. Masuk dalam kategori ini termasuk air minum, hutan, laut dan isinya, udara dan ruang angkasa.

Dalam Al-Qur’an; 8:1 berbunyi:”Mereka bertanya kepadamu perihal anfal. Katakanlah bahwa anfal adalah untuk Allah dan Nabi.”Anfal adalah barang-barang bebas yang diperoleh tanpa mengusahakannya, atau tambahan yang diperoleh dari musuh tanpa peperangan.”Segala sesuatu yang dikembalikan Allah kepada nabi-Nya dari penduduk kota adalah untuk Tuhan, Nabi, sanak famili, anak yatim, orang miskin, dan musafir sehingga semua itu tidak hanya diperoleh secara bergantian oleh orang kaya di antara kamu.” (QS. 59; 6-9)
Konsep Keseimbangan

Konsep keseimbangan berkaitan dengan tujuan yang bersifat jangka panjang yakni kebaikan dunia dan akhirat. Disamping itu juga terkait dengan kebebasan individu dan kepentingan umum yang harus dipelihara, growth with equity tampil dalam kehidupan ekonomi masyarakat. Atau dengan kata lain keseimbangan antara hak dan kewajiban.

Menurut Saefudin, konsep keseimbangan ini dapat dilihat pengaruhnya dalam berbagai aspek tingkah laku ekonomi Islam seperti kesederhanaan (moderation), berhemat (parsimony), dan menjauhi pemborosan (extravagance).Kesederhanaan berarti menjauhi konsumerisme, sebagaimana yang disinyalir dalam ayat al-Qur’an:
”Hai anak-anak adam, pakailah perhisanmu ketika hendak sholat.   Makan dan minumlah tetapi jangan berlebihan. Sesungguhnya      Allahtiada mengasihi orang berlebih-lebihan dan melampaui batas.”(QS. 7:31).
Apabila suatu keseimbangan ini terganggu maka akan terjadi ketimpangan-ketimpangan sosial-ekonomi dalan kehidupan masyarakat maka harus ada tindakan mengembalikan keseimbangan semula. Kelaparan, kemiskinan ditengah-tengah kekayaan (poverty in the midst of plenty),kelangkaan tenaga kerja dan lain-lain yang terjadi akibat terganggunya keseimbangan.Dalam keadaan demikian Khalifah Umar bin Khattab berkata: ”Bila aku mempunyai waktu lebih banyak di masa mendatang, aku akan mengadakan redistribusi kekayaan dengan mengambil kelebihan dari yang kaya dan memberikan kepada yang miskin.

Konsep Keadilan

Keadilan adalah nilai paling asasi dalam ajaran Islam. Menegakkan keadilan dan memberantas kezaliman adalah tujuan utama risalah para rasul. Terminologi keadilan disebutkan dalam beberapa istilah antara lain ’adl, qisth, mizan, hiss, qasd. Sedangkan kezaliman adalah zulm, itsm, dhalal, dan lainnya.Dengan berbagai muatan makna adil secara garis besar didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana  terdapat kesamaan perlakuan dimata hukum, kesamaan hak kompensasi, hak hidup secara layak, hak menikmati paembangunan dan tidak adanya pihak yang dirugikan serta adanya keseimbangan dalam setiap aspek kehidupan.
Konsep keadilan dalam Islam dimaknai sebagai kebebasan bersyarat akhlak Islam. Kebebasan akan mengakibatkan ketidak-seimbangan antara pertumbuhan dengan hak-hak istimewa bagi segolongan kecil untuk mengumpulkan kekayaan berlimpah, mempertajam gap antara si kaya dan si miskin, dan akhirnya dapat menghancurkan tatanan sosial. Oleh karenanya keadilan harus diterapkan dalam semua fase kegiatan ekonomi, baik dalam prosuduksi, konsumsi, dan lain-lainImplementasi dari nilai-nilai tersebut dalam kerangka kerja yang diturunkan menjadi nilai-nilai instumental konsep ekonomi Islam adalah sebagai berikut:

Pelembagaan Zakat
Zakat adalah kewajiban atas harta kekayaan menurut ketentuan Islam. Distribusi hasil pengumpulan zakat harta ditujukan kepada delapan kelompok (asnaf), sebagaimana yang difirmankan
dalam QS.9:60, yang artinya:”Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-   orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak. orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai      sesuatu ketetapan yang diwajibkan Allah; dan Allah Maha Mengetahui             lagi Maha Bijaksana.
Zakat memainkan peran yang signifikan dalam distribusi pendapatan dan kekayaan. Secara sosial ekonomi, zakat dapat memberikan dampak bagi terciptanya keamanan dan menghilangkan pertentangan kelas yang disebakan oleh perbedaan pendapatan yang tajam.
Implementasi pengelolaan zakat tidak taerbatas pada suatu komunitas muslim kecil, namun melingkupi suatu negara. Zakat tidak semata-mata bermakna ritual tetapi memiliki keterkaitan erat dengan kondisi suatu masyarakat dalam satu negara. Dengan pelembagaan seperti ini maka efektifitas maupun optimalisasi zakat akan lebih terjamin. Dalam pemikiran yang lebih ideal, pelembagaan zakat harus dipahami sebagai upaya untuk profesionalisasi pengelolaan zakat sebagai sebuah sistem distribusi kekayaan dan pendapatan yang nyata. Dalam pengertian yang lebih luas pelembagaan zakat juga bermakna perlunya komitmen yang kuat dan langkah yang konkret dari negara dan masyarakat untuk menciptkan suatu sistem distribusi kekayaan dan pendapatan secara sistemik dan permanen.Zakat merupakan salah satu instrumen pendapatan negara pada awal pemerintahan Islam. [9]Pelaksanaan zakat oleh negara akan menunjang terbentuknya keadaan ekonomi yakni peningkatan produktifitas yang dibarengi dengan pemerataan pendapatan serta peningkatan lapangan pekerjaan bagi masyarakat.Perintah untuk menggunakan dana zakat menjadi aset produktif disinyalir dalam sebuah hadist Nabi Muhammad Saw yang berbunyi:”Perdagangkanlah harta anak yatim itu sehingga tidak habis termakan zakat.”Betapa pentingnya membayar zakat, kata zakat dalam al-Qur’an selalu dirangkaikan dengan sholat sebanyak 82 kali. Hal ini menunjukkan betapa lembaga zakat ini bermanfaat dalam membangun masyarakat yang harmonis. Khalifah Abu Bakar Siddiq R.A berani mengambil resiko akan memerangi orang Islam yang tidak membayar zakat walaupun mendirikan sholat.Pelarangan RibaHakekat pelarangan riba dalam Islam adalah suatu penolakan atas resiko yang dibebankan kepada satu pihak saja, sedangkan pihak lainnya dijamin keuntungannya. Larangan riba dengan segala macam bentuknya oleh al-Qur’an berupa kecaman dan ancaman dapat dilihat dalam beberapa ayat seperti:”Orang-orang yang memakan (mengambil) riba tidak berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu adalah disebabkan mereka berkata ;”Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengahramkan riba; maka orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan) dan urusannya (terserah) kepada Allah; orang yang mengulangi (mengambil riba), maka itu adalah penghuni neraka. Mereka kekal di dalamnya.”Allah menghapuskan (berkat) riba dan menyuburkan sedekah; dan Allah tidak menyuakai (mengasihi) tiap orang  dalam kekafirannya lalu berbuat dosa.”Larangan riba tidak hanya dalam Islam saja, Taurat dan injilpun tercantum larangan riba. Di dalam ajaran kristen larangan riba tidak hanya ditujukan bagi penganut kristen tetapi juga bagi penganut agama lain. Seorang pembaharu kristen – Marthin Luther – tidak merasa cukup hanya dengan melarang bunga sedikit maupun banyak, tetapi juga melarang semua kontrak dagang yang menjurus pada pembungaan uang , menjual dengan harga lebih mahal jika  dibayar kemudian dari harga tunai.Secara empirik riba mengandung kemudharatan, karena mengambil keuntungan tanpa adanya risiko yang menyertainya. Hal ini menyebabkan peminjam tidak memperoleh keuntungan yang seimbang dengan tingkat bunga yang harus dibayar. Berbeda apabila kita menggunakan sistem profit and loss sharing, dimana pemodal turut serta dalam mengambil bagian baik untung maupun kerugiannya.Lord Keynes berkesimpulan sama mengenai bunga, menurutnya:”Individu-individu tidak menyimpan dengan tujuan untuk memperoleh penghasilan tetapi dengan tujuan untuk membentuk modal, sehingga bertambahlah kegiatan dunia spekulasi dengan tidak mengingat besarnya suku bunga, karena keuntungan yang diperoleh lebih besar bila mereka mengeksploitir simpanannya. Sebab itu suku bunga tidak ditetapkan kecuali kelaziman belaka. Penyimpanan akan senantiasa berjalan terus meski bunga turun sampai nol.”Kerjasama ekonomiKerjasama merupakan karakter perilaku masyarakat ekonomi yang berdasar pada nilai-nilai keadilan. Baik kerjasama produksi, konsumsi, maupun distribusi barang maupun jasa. Salah satu bentuk kerja sama adalah Qiradh atau yang kita kenal dengan mudharabah.Qiradh dikenal dalam dunia ekonomi dengan penyertaan modal tanpa beban bunga, tetapi berdasarkan profit & loss sharing dari proyek usaha unit kegiatan ekonomi yang disepakati bersama.Jaminan SosialJaminan sosial adalah menjamin tingkat kualitas hidup yang minimum bagi seluruh lapisan masyarakat. Menurut Saefudin jaminan sosial tersebut sejalan dengan tujuan-tujuan menurut syariat Islam, yaitu:Keuntungan dan beban sebanding dengan  manfaat. Tidak ada kewajiban yang dibebankan tanpa diimbangi dengan pemberian hak yang sehubungan dengan kewajiban tersebut.Manfaat dari sumber-sumber harus dapat dinikmati oleh semua makhlukTidak ada saling membebankan kerusakan atau biaya-biaya eksternal.Negara harus menyediakan dana untuk menjamin kesejahteraan sosial dan pertumbuhan ekonomi.Pengeluaran sosial adalah hak sah dari orang-orang yang miskin dan malang[10]Peran NegaraNegara adalah pemilik manfaat sumber-sumber sekaligus produsen, distributor dan lembaga pengawasan ekonomi melalui lembaga hisbah. Hisbah adalah institusi peran negara yang pernah ada pada zaman nabi Muhammad Saw sebagai lembaga pengawas ekonomi yang menjamin tidak adanya perkosaan atau pelanggaran aturan moral dalam pasar monopoli, perkosaan terhadap hak konsumen, keamanan dan kesehatan kehidupan ekonomi. Apabila campur tangan negara dalam pengawasan moral ekonomi pasar individu maupun masyarakat makin kuat, maka makin berkuranglah campur tangan langsung dari negara terhadap kegiatan ekonomi.Peran negara dibutuhkan dalam instrumentasi dan fungsionalisasi nilai-nilai ekonomi Islam dalam aspek legal, perencanaan dan pengawasannya dalam pengalokasian, pendistribusian sumber-sumber maupun dana, pemerataan pendapatan dan distribusi kekayaan serta pertumbuhan dan stabilitas ekonomi.[1] Rafika Isaa Baekun dalam artikel Agustianto, Etika Produksi dalam Islam, Niriah.com, Oktober, 2008.[2] Pengertian etika adalah code of set principles wich people live, yakni seperangkat kaidah atau prinsip yang mengatur hidup manusia. Dalam pengertian yang lebih luas, etika diartikan sebagaiThe systematic study of the nature of value concept, good, bad, ought, right, wrong, etc. and of the general principles which justifyus in applying them to anything; also called moral, lihat dalam Sonny Keraf dan Robert Haryono Imam, Etika Bisnis : Membangun Citra Bisnis Sebagai Profesi Luhur, Yogyakarta; Kanisius, 1995.[4] Artikel, AM. Saefudin, Filsafat,  Nilai dasar, Nilai Instrumental dan Fungsional konsep ekonomi Islam, JKTTI- NO. 1-I/1997 – Feb 1998, h. 43[5] Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam (P3EI) UII, Ekonomi Islam, Jakarta, Rajawali Press, h. 59[6] QS. 57;20[7] QS. 104;  1-3[8] Al-Qur’an dan Terjemahannya, Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, Jakarta, 1971. (1) Orang Fakir adalah orang yang amat susah hidupnya, tidak mempunyai harta dan tenaga untuk memenuhi penghidupannya. (2) Orang miskin adalah orang yang tidak cukup penghidupannya dan dalam keadaan kekuarangan. (3) Pengurus Zakat adalah orang yang diberi tugas untuk mengumpulkan dan membagikan harta zakat. (4) Muallaf adalah orang kafir yang ada harapan masuk Islam dan orang yang baru masuk Islam yang imannya masih lemah. (5) Memerdekakan budak adalah mencakup juga untuk melepaskan orang muslim yang ditawan oleh orang-orang kafir. (6) Orang-orang yang berhutang adalah orang yang berhutang untuk kepentingan yang bukan ma’siat dan tidak sanggup membayarnya. adapaun orang yang berhutang untuk memelihara persatuan umat Islam dibayar hutangya dengan zakat, walaupun ia mampu membayarnya. (7) Sabilillah adalah untuk keperluan pertahanan Islam dan kaum muslimin. menurut ahli tafsir ada yang berpendapat bahwa fii sabilillah adalah orang yang mendirikan sekolah, rumah sakit, dll. (9) Orang yang sedang dalam perjalanan yang bukan ma’siat mengalami kesengsaraan dalam perjalanannya.[9] Lihat masa-masa awal pemerintahan Islam, mulai dari masa kekhalifahan Abu Bakar al-Shiddiq, Umar bin Khatab, Ustman bin Affan, hingga Ali bin Abi thalib. Selain zakat terdapat sumber-sumber lain penerimaan negara.[10] Lihat AM. Syaifudin, Filsafat, Nilai Dasar, Nilai Instrumental dan Fungsionalisasi Konsep Ekonomi Islam, JKTTI-No.1/Des 1997-Feb 1998 h. 45

Senin, 06 Oktober 2014

Tugas Sejarah makalah

A. Latar Belakang
     Kemunculan ekonomi Islam di era kekinian, telah membuahkan hasil dengan banyak diwacanakan kembali ekonomi Islam dalam teori-teori, dan dipraktekkannya ekonomi Islam diranah bisnis modern sepertihalnya keuangan syariah bank dan nonbank. Ekonomi Islam berkembang secara bertahap sebagai suatu bidang ilmu inter disiplin yang menjadi bahan kajian para fuqaha, mufassir, filsuf, sosiolog, dan politikus. Sejumlah cendikiawan muslim terkemuka, seperti Abu Yusuf (w. 182 H), Al-syaibani (w. 189 H),yahya bin Adam (w. 303 H), Al-Ghazali (w. 505 H), Ibnu Ruysd (w. 595), Al-’Izz bin ’Abd Al-Salam (w. 660 H), Al-Farabi (w. 339 H), Ibnu Taimiyah (w. 728 H), Al-Maqrizi (w. 845 H), Ibnu Khaldum (w. 808 H), telah memberikan kontribusi yang besar terhadap kelangsungan dan perkembangan peradaban dunia, khususnya pemikiran ekonomi, melalui sebuah proses evolusi yang terjadi selama berabad-abad.Latar belakang para cendekiawan muslim tersebut bukan merupakan ekonomi murni. Pada masa itu, klasifikasi disiplin ilmu pengetahuan belum dilakukan. Mereka mempunyai keahlian dalam berbagai bidang ilmu dan mungkin faktor ini yang menyebabkan mereka melakukan pendekatan interdisipliner antara ilmu ekonomi dan bidang ilmu yang mereka tekuni sebelumnya. Pendekatan ini membuat mereka tidak memfokuskan perhatian hanya pada variabel-variabel ekonomi semata. Para cendikiawan ini menganggap kesejahteraan umat manusia merupakan hasil akhir dsri interaksi panjang sejumlah faktor ekonomi dan faktor-faktor lain seperti moral, sosial, demografi, dan politik.Pembahasan dalam sejarah pemikiran ekonomi Islam juga meliputi penelaahan secara umum asal-usul lainnya pemikiran ekonomi dalam Islam, berikut berbagai fase perkembangannya hingga memasuki awal abad ke 20 Masehi. Kemudian juga meliputi pembahasan mengenai berbagai kegiatan perekonomian umat Islam yang berlangsung pada zaman pemerintahan Rasulullah SAW, dan al-Khulafa ar-Rasyidun, yang mencakup pembahasan uraian mengenai sistem ekonomi dan fiskal pada masa pemerintahan al-Khulafa ar-Rasyidun, kebijakan fiskal pada masa awal pemerintahan Islam, uang dan kebijakan moneter pada awal pemerintahan Islam. Serta peranan harta rampasan perang pada awal pemerintahan Islam.Pada pembahasan ini, kami akan mengangkat persoaalan tentang pemikiran ekonomi Islam yang berlaku pada masa al-Khulafa ar-Rasyidun.

Kepemimpinan Abu Bakar

Sepeninggal Nabi Muhammad Saw. Sahabat Muhajirin dan Anshar berkumpul di Saqifah Bani Saadah untuk membicarakan tampuk pimpinan, sebagai pengganti beliau. Abu Bakar yang memimpin rapat waktu itu berkata:’’Kami dari keturunan Quraisy, maka pimpinan juga dari golongan kami.” Saat perdebatan antara dua kubu tersebut memuncak, Abu Bakar melanjutkan perkataannya: “Orang Arab tidak bakal mampu menyelesaikan persoalan tanpa orang Quraisy. Rasulullah pernah bersabda:setelah aku, persoalan (kepemimpinan) ini ada di tangan orang-orang Quraisy” Kemudian ia berkata seorang sahabat dari Anshar, Basyir bin Saad, “Apakah kamu pernah mendengar rasul bersabda bahwa para pemimpin adalah dari orang Quraisy?” Basyir menjawab: “Demi Allah, ya”.
Menurut al-Baladziri, ketika Rasulullah wafat, Umar bin Khattab mendatangi Abu Ubaidah bin Jarrah: “ Aku membaiatmu”, kata Umar. Seperti diketahui bahwa umar bin Khattab adalah seorang tokoh Quraisy, beguitu juga Abu Ubaidah bin Jarrah.
Tatkala pembaitan jatuh di tangan Abu Bakar, Ali bin Abi Thalib merasa tidak puas. Abu Ubaidah menemuinya, lalu berkata: “Hai putra pamanku, engkau masih muda, sedangkan mereka adalah sesepuh kaummu (sesepuh Quraisy), pengetahuan dan penga lamanmu belum cukup jika dibandingkan dengan mereka. Dalam hal ini Abu Bakar lebih unggul dan cakap dari kamu. Terimalah dia Sesungguhnya jika engkau diberi umur panjang, kelak engkau akan mendudukinya”.

Sistem Ekonomi Dan Fiskal Pemerintahan Khalifah Abu Bakar ash-Sidiq

Setelah Rasulullah SAW wafat, Abu Bakar al-Shidiq terpilih sebagai khalifah yang pertama. Nama lengkapnya adalah Abdullah bin Usman bin Umar bin Mar bin Kaab bin Saad Tamin bin Murrrah bin Kaab bin Luay al-Taymi al-Qurasyi, bergelar al-Shidiq (yang membenarkan) atau al-Atiq yang dibebaskan, Abu Bakar dilahirkan di Mekkah dua setengan tahun setelah tahun gajah . Sejak menjadi khalifah, kebutuhan keluarga Abu Bakar diurus dengan harta Baitul Mal, dua setengah dirham tiap hari ditambah daging domba dan pakaian biasa. Karena kurang mencukupi, kemudian dinaikkan menjadi 2000 atau 2500 dirham, pada riwayat lain 6000 dirham per tahun . Namun demikian beberapa saat menjelang ajalnya, negara kesulitan dalam mengumpulkan pendapatan negara, sehingga ia menanyakan berapa banyak upah atau gaji yang telah diterimanya. Ketika diberitahukan bahwa jumlah tunjangannya sebesar 8000 dirham, beliau langsung memerintahkan untuk menjual sebagian besar tanah yang dimilikinya untuk negara. Di samping itu, Abu Bakar juga menanyakan lebih jauh mengenai berapa banyak fasilitas yang telah dinikmatinya selama menjadi khalifah. Ketika diberitahukan bahwa fasilitas yang diberikan kepadanya berupa budak yang bertugas memelihara anak-anaknya dan membersihkan pedang-pedang kaum muslimin, seekor unta pembawa air dan sehelai pakaian biasa, ia mengintruksikan untuk mengalihkan semua fasilitas tersebut kepada pemimpin berikutnya setelah beliau wafat. Ketika semua ini diberitahukan kepada Umar, ia berkata ”oh Abu Bakar! Kamu membuat tugas dari penggantimu menjadi sangat sulit . Beliau sangat akurat dalam penghitungan dan pengumpulan zakat sehingga tidak terjadi kelebihan atau kekurangan pembayarannya. Zakat ditampung di Baitul Mal dan ditrisbusikan dalam jangka waktu yang tidak lama sampai habis tidak tersisa. Pembagiannya sama rata antara sahabat yang masuk Islam terlebih dahulu maupun yang belakangan, pria mupun wanita. Seperti halnya Rasulullah SAW beliau juga membagikan sebagian tnah taklukan, sebagian diberikan kepada kaum muslimin dan sebagian yang lain tetap milik negara. Dan juga mengambil alih tnah orang-orang yang murtad untuk kepentingan umat Islam .Ketika beliau wafat, hanya ditemukan 1 dirham dalam perbendaharaan negara karena memang harta yang sudah dikumpulkan langsung dibagikan, sehingga tidak ada penumpukan harta di Baitul Mal. Abu Bakar meninggal pada 13 H atau 13 Agustus 634 M dalam usia 63 tahun, kekhalifahannya berlangsung selama 2 tahun tiga bulan sebelas hari. Jenazah Abu Bakar dikubur disamping Rasulullah SAW.

Misi utama kerasulan Muhammad SAW adalah untuk menyempurnakan akhlaq yang mulia. Kepada seluruh umat manusia diminta agar meniru akhlaq dan keluhuran budi Nabi Muhammad SAW dalam kehidupan sehari-hari agar selamat di dunia dan akhirat.Mengingat kembali tentang sistem perekonomian di Indonesia yang masih kurang sempurna. Oleh sebab itu, kita sebagai umat Islam harus berusaha meniru sistem perekonomian islam yang telah diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya.Berdasarkan hal di atas, maka dalam makalah ini akan dijelaskan tentang Sistem Ekonomi dan Fiskal Pada Masa Pemerintahan Khulafaur Rasyidin secara singkat.

B. Rumusan Masalah
    Bagaimanakah sistem ekonomi dan fiskal pada masa pemerintahan Khalifah Abu Bakar As-Shiddiq.

C. PEMBAHASAN
Sistem Ekonomi dan Fiskal Pemerintahan Khalifah Abu Bakar As-ShiddiqSetelah Rasulullah SAW wafat, Abu Bakar As-Shiddiq yang bernama lengkap Abdullah ibn Abu Quhafah Al-Tamimi terpilih sebagai khalifah Islam yang pertama. la merupakan pemimpin agama sekaligus kepala negara kaum Muslimin. Pada masa pemerintahannya yang hanya berlangsung selama dua tahun, Abu Bakar As-Shiddiq banyak menghadapi persoalan dalam negeri yang berasal dari kelompok murtad, nabi palsu, dan pembangkang zakat. Berdasarkan hasil musyawarah dengan para sahabat yang lain, ia memutuskan untuk memerangi kelompok tersebut melalui apa yang disebut sebagai Perang Riddah(perang melawan kemurtadan). Setelah berhasil menyelesaikan urusan dalam negeri, Abu Bakar As-Shiddiq mulai melakukan ekspansi ke wilayah utara untuk menghadapi pasukan Romawi dan Persia yang selalu mengancam kedudukan umat Islam. Namun, ia meninggal dunia sebelum usaha ini selesai dilakukan.[1]Dengan demikian, selama masa pemerintahan Abu Bakar As-Shiddiq, harta Baitul Mal tidak pernah menumpuk dalam jangka waktu yang lama karena langsung didistribusikan kepada seluruh kaum Muslimin, bahkan ketika Abu Bakar As-Shiddiq wafat, hanya ditemukan satu dirham dalam perbendaharaan negara.[2]Seluruh kaum Muslimin diberikan bagian yang sama dari hasil pendapatan negara. Apabila pendapatan meningkat, seluruh kaum Muslimin mendapat manfaat yang sama dan tidak ada seorang pun yang dibiarkan dalam kemiskinan. Kebijakan tersebut berimplikasi pada peningkatan total pendapatan nasional, di samping memperkecil jurang pemisah antara orang-orang yang kaya dengan yang miskin.


B.       Sistem Ekonomi dan Fiskal Pemerintahan Khalifah Umar ibn Al-Khattab
Pada masa pemerintahannya yang berlangsung selama sepuluh tahun, Umar ibn Al-Khattab banyak melakukan ekspansi hingga wilayah Islam meliputi Jazirah Arab, sebagian wilayah kekuasaan Romawi (Syria, Palestina, dan Mesir), serta seluruh wilayah kerajaan Persia, termasuk Irak. Atas keberhasilannya tersebut, orang-orang Barat menjuluki Umar sebagai the Saint Paul of Islam[3]
Karena perluasan daerah terjadi dengan cepat, Umar ibn Al-Khattab segera mengatur administrasi negara dengan mencontoh Persia. Administrasi pemerintah diatur menjadi delapan wilayah provinsi: Makkah, Madinah, Syria, Jazirah, Basrah, Kufah, Palestina, dan Mesir. la juga membentuk jawatan kepolisian dan jawatan tenaga kerja.[4]
1.    Pendirian Lembaga Baitul Mal
Dalam catatan sejarah, pembangunan institusi administratif Baitul Mal dilatarbelakangi oleh kedatangan Abu Hurairah yang ketika itu menjabat sebagai Gubernur Bahrain dengan membawa harta hasil pengumpulan pajak al-kharaj sebesat 500.000 dirham. Hal ini terjadi pada tahun 16 H.[5] Oleh karena jumlah tersebut sangat besar, Khalifah Umar mengambil inisiatif memanggil dan mengajak bermusyawarah para sahabat terkemuka tentang penggunaan dana Baitul Mal tersebut. Setelah melalui diskusi yang cukup panjang, Khalifah Umar memutuskan untuk tidak mendistribusikan harta Baitul Mal, tetapi disimpan sebagai cadangan, baik untuk keperluan darurat, pembayaran gaji para tentara maupun berbagai kebutuhan umat lainnya.
Khalifah Umar ibn Al-Khattab juga membuat ketentuan bahwa pihak eksekutif tidak boleh turut campur dalam mengelola harta Baitul Mal. Di tingkat provinsi, pejabat yang bertanggung jawab terhadap harta umat tidak bergantung kepada gubernur dan mereka mempunyai otoritas penuh dalam melaksanakan tugasnya serta bertanggung jawab langsung kepada pemerintah pusat.
Untuk mendistribusikan harta Baitul Mal, Khalifah Umar ibn Al-Khattab mendirikan beberapa departemen yang dianggap perlu, seperti :
a.         Departemen Pelayanan Militer. Departemen ini berfungsi untuk mendistribusikan dana bantuan kepada orang-orang yang terlibat dalam peperangan.
b.         Departemen Kehakiman dan Eksekutif. Bertanggung jawab atas pembayaran gaji para hakim dan pejabat eksekutif.
c.         Departemen Pendidikan dan Pengembangan Islam. Departemen ini mendistribusikan bantuan dana bagi penyebar dan pengembang ajaran Islam beserta keluarganya, seperti guru dan juru dakwah.
d.        Departemen Jaminan Sosial. Berfungsi untuk mendistribusikan dana bantuan kepada seluruh fakir miskin dan orang-orang yang menderita.[6]

2.    Kepemilikan Tanah
Selama pemerintahan Khalifah Umar, wilayah kekuasaan Islam semakin luas seiring dengan banyaknya daerah-daerah yang berhasil ditaklukkan, baik melalui peperangan maupun secara damai. Hal ini menimbulkan berbagai permasalahan baru. Pertanyaan yang paling mendasar dan utama adalah kebijakan apa yang akan diterapkan negara terhadap kepemilikan tanah-tanah yang berhasil ditaklukkan tersebut.
Para tentara dan beberapa sahabat terkemuka menuntut agar tanah hasil taklukan tersebut dibagikan kepada mereka yang terlibat dalam peperangan sementara sebagian kaum Muslimin yang lain menolak pendapat tersebut. Muadz bin Jabal, salah seorang di antara mereka yang menolak, mengatakan, Apabila engkau membagikan tanah tersebut, hasilnya tidak akan raenggembirakan. Bagian yang bagus akan menjadi milik mereka yang tidak lama lagi akan meninggal dunia dan keseluruhan akan menjadi milik seseorang saja.[7]
Mayoritas sumber pemasukan pajak al-kharaj berasal dari daerah-daerah bekas kerajaan Romawi dan Sasanid (Persia) dan hal ini membutuhkan suatu sistem administrasi yang terperinci untuk penaksiran, pengumpulan, dan pendistribusian pendapatan yang diperoleh dari pajak tanah-tanah tersebut.
a.         Wilayah Irak yang ditaklukkan dengan kekuatan menjadi milik Muslim dan kepemilikan ini tidak dapat diganggu gugat sedangkan bagian wilayah yang berada di bawah perjanjian damai tetap dimiliki oleh pemilik sebelumnya dan kepemilikan tersebut dapat dialihkan.
b.         Kharaj dibebankan kepada semua tanah yang berada di bawah kategori pertama, meskipun pemilik tanah tersebut memeluk agama Islam. Dengan demikian, tanah seperti itu tidak dapat dikonversi menjadi tanah ushr.
c.         Bekas pemilik tanah diberi hak kepemilikan selama mereka membayar kharaj danjizyah.
d.        Tanah yang tidak ditempati atau ditanami (tanah mati) atau tanah yang diklaim kembali (seperti Bashra) bila diolah oleh kaum Muslimin diperlakukan sebagai tanahushr.
e.         Di Sawad, kharaj dibebankan sebesar satu dirham dan satu rafiz (satu ukuran lokal) gandum dan barley (sejenis gandum) dengan asumsi tanah tersebut dapat dilalui air. Harga yang lebih tinggi dikenakan kepada ratbah (rempah atau cengkeh) dan perkebunan.[8]
f.          Di Mesir, berdasarkan perjanjian Amar, setiap pemilik tanah dibebankan pajak sebesar dua dinar, di samping tiga irdabb gandum, dua qist untuk setiap minyak, cuka, madu, dan rancangan ini telah disetujui oleh khalifah.
g.         Perjanjian Damaskus (Syria) berisi pembayaran tunai, pembagian
tanah dengan kaum Muslimin, beban pajak untuk setiap orang
sebesar satu dinar dan satu beban jarib (unit berat) yang diproduksi
per jarib (ukuran) tanah.[9]

3.    Zakat
Pada masa Rasulullah SAW, jumlah kuda di Arab masih sangat sedikit, terutama kuda yang dimiliki oleh kaum Muslimin karena digunakan untuk kebutuhan pribadi dan jihad. Misalkan pada Perang Badar, pasukan muslim yang jumlahnya 313 orang hanya memiliki dua kuda. Pada saat pengepungan Bani Quraisy (5 A.H) pasukan muslim memiliki 36 kuda. Pada tahun yang sama, di Hudaybiyah mereka mempunyai sekitar dua ratus kuda. Karena zakat dibebankan terhadap barang-barang yang memiliki produktivitas, seorang budak atau seekor kuda yang dimiliki kaum Muslimin ketika itu tidak dikenakan zakat.[10]
Pada masa Umar, Gubernur Thaif melaporkan bahwa pemilik sarang lebah tidak membayar ushr, tetapi menginginkan sarang-sarang lebah tersebut dilindungi secara resmi. Umar mengatakan bahwa bila mereka mau membayar ushr sarang lebah mereka akan dilindungi. Namun, jika menolak, mereka tidak akan memperoleh perlindungan. Zakat yang ditetapkan adalah seperduapuluh untuk madu yang pertama dan sepersepuluh untuk madu jenis kedua.[11]

4.    Ushr
Sebelum Islam datang, setiap suku atau kelompok yang tinggal di pedesaan biasa membayar pajak (ushr) jual-beli (maqs). Besarnya adalah sepuluh persen dari nilai barang atau satu dirham untuk setiap transaksi.[12] Namun, setelah Islam hadir dan menjadi sebuah negara yang berdaulat di Semenanjung Arab, nabi mengambil inisiatif untuk mendorong usaha perdagangan dengan menghapus bea masuk antar provinsi yang masuk dalam wilayah kekuasaan dan masuk dalam perjanjian yang ditandatangani oleh beliau bersama dengan suku-suku yang tunduk kepada kekuasaannya. Secara jelas dikatakan bahwa pembebanan sepersepuluh hasil pertanian kepada pedagang Manbij (Hierapolis).[13]
Menurut Saib bin Yazid, pengumpul ushr di pasar-pasar Madinah, orang-orang Nabaeteari yang berdagang di Madinah juga dikenakan pajak pada tingkat yang umum, tetapi setelah beberapa waktu Umar menurunkan persentasenya menjadi 5% untuk minyak dan gandum, untuk mendorong import barang-barang tersebut di kota.[14]

5.    Sedekah dari non-Muslim
Tidak ada ahli kitab yang membayar sedekah atas ternaknya kecuali orang Kristen; Bani Taghlib yang keseluruhan kekayaannya terdiri dari hewan ternak. Mereka membayar dua kali lipat dari yang dibayar kaum Muslimin. Bani Taghlib merupakan suku Arab Kristen yang gigih dalam peperangan. Umar mengenakan jizyah kepada mereka, tetapi mereka terlalu gengsi sehingga menolak membayar jizyah dan malah membayar sedekah.[15]
Nu'man ibn Zuhra memberikan alasan untuk kasus mereka dengan mengatakan bahwa pada dasarnya tidak bijaksana memperlakukan mereka seperti musuh dan seharusnya keberanian mereka menjadi aset negara. Umar pun memanggil mereka dan menggandakan sedekah yang harus mereka bayar dengan syarat mereka setuju untuk tidak membaptis seorang anak atau memaksanya untuk menerima kepercayaan mereka. Mereka setuju dan menerima untuk membayar sedekah ganda.[16]
6.    Mata Uang
Pada masa nabi dan sepanjang masa pemerintahan al-Khulafa ar-Rasyidun, koin mata uang asing dengan berbagai bobot telah dikenal di Jazirah Arab, seperti dinar, sebuah koin emas, dan dirham sebuah koin perak. Bobot dinar adalah sama dengan satu mitstyal atau sama dengan dua puluh qirat atau seratus grains of barky. Oleh karena ltu, rasio antara satu dirham dan satu mitsqal adalah tujuh per sepuluh.[17]

7.    Klasifikasi dan Alokasi Pendapatan Negara
Seperti yang telah disinggung di muka, kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan pendapatan negara adalah mendistribusikan seluruh pendapatan yang diterima. Pada masa pemerintahannya, Khalifah Umar ibn Al-Khattab mengklasifikasi pendapatan negara menjadi empat bagian, yaitu :
a.         Pendapatan zakat dan ushr. Pendapatan ini didistribusikan di frngkat lokal dan jika terdapat surplus, sisa pendapatan tersebut disimpan di Baitul Mai pusat dan dibagikan kepada delapan ashnaf, seperti yang telah ditentukan dalam Al-Quran.
b.         Pendapatan khums dan sedekah. Pendapatan ini didistribusikan kepada para fakir miskin atau untuk membiayai kesejahteraan mereka tanpa membedakan apakah ia seorang Muslim atau bukan. Dalam sebuah riwayat, di perjalanan menuju Damaskus, Khalifah Umar bertemu dengan seorang Nasrani yang menderita penyakit kaki gajah. Melihat hal tersebut, Khalifah Umar segera
memerintahkan pegawainya agar memberikan dana kepada orang tersebut yang diambilkan dari hasil pendapatan sedekah dan makanan yang diambilkan dari persediaan untuk para petugas.
c.         Pendapatan kharaj, fai,jizyah, 'ushr (pajak perdagangan), dan sewa tanah. Pendapatan ini digunakan untuk membayar dana pensiun dan dana bantuan serta untuk menutupi biaya operasional administrasi, kebutuhan militer, dan sebagainya.
d.        Pendapatan lain-lain. Pendapatan ini digunakan untuk membayar para pekerja, pemeliharaan anak-anak terlantar, dan dana sosial lainnya.[18]

8.    Pengeluaran
Di antara alokasi pengeluaran dari harta Baitul Mal tersebut, dana pensiun merupakan pengeluaran negara yang paling penting. Prioritas berikutnya adalah dana pertahanan negara dan dana pembangunan.[19]
Seperti yang telah dijelaskan, Khalifah Umar menempatkan dana pensiun di tempat pertama dalam bentuk rangsum bulanan (arzaq) pada tahun 18 H, dan selanjutnya pada tahun 20 H dalam bentuk rangsum tahunan (atya). Dana pensiun ditetapkan untuk mereka yang akan dan pernah bergabung dalam kemiliteran. Dengan kata lain, dana pensiun ini sama halnya dengan gaji reguler angkatan bersenjata dan pasukan cadangan serta penghargaan bagi orang-orang yang telah berjasa.
Dana ini juga meliputi upah yang dibayarkan kepada para pegawai sipil. Sejumlah penerima dana pensiun juga ditugaskan untuk melaksanakan kewajiban sipil, tetapi mereka dibayar bukan untuk itu.
Seperti halnya yang dilakukan oleh Rasulullah SAW., Khalifah Umar menetapkan bahwa negara bertanggung jawab membayarkan atau melunasi utang orang-orang yang menderita pailit atau jatuh miskin, membayar tebusan para tahanan Muslim, membayar diyat orang-orang tertentu, serta membayar biaya perjalanan para delegasi dan tukar menukar hadiah dengan negara lain. Dalam perkembangan berikutnya, setelah kondisi Baitul Mal dianggap cukup kuat, ia menambahkan beberapa pengeluaran lain dan memasukkannya ke dalam daftar kewajiban negara, seperti memberi pinjaman untuk perdagangan dan konsumsi.[20]


.    PENUTUP
Kesimpulan
Adapun sistem ekonomi dan fiskal pemerintahan Khalifah Abu Bakar As-Shiddiq antara lain : Zakat, Baitul Mal, Gaji
Adapun sistem ekonomi dan fiskal pemerintahan Khalifah Umar ibn Al-Khattab antara lain : Pendirian Lembaga Baitul Mal, Kepemilikan tanah, Zakat, Ushr, Sedekah dari non-muslim, Mata uang, Klasifikasi dan alokasi pendapatan negara, Pengeluaran
Daftar pustaka
[1] Adimarwan Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam Edisi 2, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004, hlm.54-55[2] Ibit, hlm.57